Suporter Berpolitik, No! Hak Berpolitik, Yes!!

Suporter Berpolitik, No! Hak Berpolitik, Yes!!

13 Februari 2024

BRI LIGA 1 2023-2024

Oleh: Hanif Marjuni
(Manajer Media dan Komunikasi LIB)

 

INDONESIA punya hajatan besar. Pada 14 Februari 2024, akan mengadakan pemilihan umum 2024. Hajatan ini akan memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota.  

Sudah menjadi gerakan yang masif, masing-masing pasangan calon presiden dan wakilnya, calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi hingga DPRD kabupaten atau kota terus berlomba-lomba menarik simpati publik. Sebanyak-banyaknya. Dari segala lapisan usia dan kasta. 

Berbagai trik dan jurus jitu untuk mengantongi simpati masyarakat, konsisten dimunculkan. Lewat beragam cara, media, dan momentum. 

Lalu, bermacam tawaran program dikemukakan ke daerah pilihan (dapil). Ada yang dalam skala besar lewat kampanye dengan mengumpulkan massa dalam jumlah ribuan, ada juga dengan cara yang lebih sederhana. Datang ke rumah dapil atau mengumpulkan warga dalam skala yang kecil, misalnya.

Sekali lagi, semuanya dalam satu tujuan; menarik simpati publik agar dipilih. Beres.

Dalam bukunya yang bertajuk The True Believer (1951), analisis filsuf Eric Hoffer (1898-1983) menyebutkan bahwa partai politik mustahil menjauh dari massa. Singkat kata, keduanya saling bergandengan. Bahkan, lekat.

Dengan pemilihan langsung seperti saat ini, merujuk pada analisis Eric Hoffer, dekat dengan publik sangat menguntungkan jika menggeluti dunia politik. 

Pada pemahaman di atas, jelas suporter akan menjadi target yang diincar oleh orang-orang yang berkepentingan dalam urusan politik. Dengan fanatisme dan kebersamaan yang sangat kuat, suporter diyakini menjadi salah satu lumbung suara yang menggiurkan. Plus, bisa jadi, jaminan untuk menang.

Lantas, apa yang harus dilakukan kelompok suporter pada masa politik saat ini? Bolehkah organisasi suporter berpolitik? 

Sebelum menemukan jawaban yang tepat, ada baiknya kita menengok beberapa pernyataan dari beberapa kelompok suporter yang muncul belakangan ini. Beberapa suporter sudah menyatakan secara resmi bahwa mereka netral. Dalam artian, tidak melibatkan komunitas atau organisasi suporter ke ranah politik.

Contohnya, The Jakmania. “Jakmania tidak akan terlibat dalam agenda politik dari pasangan manapun. Para anggota Jakmania yang ingin memberikan dukungan kepada pasangan calon presiden, tidak diizinkan membawa atribut Jakmania atau mengidentifikasikan diri sebagai Jakmania,” ucap Ketua Umum Jakmania, Diky Soemarno, seperti yang dinukil dari laman akun suporter.

Setelah The Jakmania, organisasi suporter yang lain juga melakukan hal yang sama. Bomber Persib dan We are Persipura juga menghimbau kepada seluruh anggotanya dengan pesan yang sama. Prinsipnya; tidak membawa atribut organisasi atau komunitas suporter ke dalam kepentingan politik.

Pernyataan beberapa organisasi suporter di atas memang normatif. Tapi, sejatinya sarat makna. Bahwa suporter adalah komunitas yang dibentuk untuk memberikan dukungan pada salah satu klub atau pertandingan. Bukan ‘pertandingan’ di ranah politik.

Poin pentingnya, jika memilih atau berpihak pada salah satu wakil rakyat, itu mengatasnamakan pribadi. Sekali lagi, bukan kelompok suporter. Ingat, memilih calon pemimpin atau berpolitik adalah hak setiap warga negara. 

Jadi, rasanya sudah jelas, di mana posisi organisasi suporter dalam momentum politik saat ini.

Selamat berdemokrasi.